MAKALAH KESUSASTRAAN ANGKATAN BALAI PUSTAKA
oleh: Melyusti S. Kabkole
oleh: Melyusti S. Kabkole
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan suatu kata yang sampai saat ini belum ada yang mampu menafsirkan
secara tepat tentang pengertiannya, bahkan kata tersebut sampai saat ini masih
menjadi bahan pertanyaan para ilmuan demi untuk mencari keselarasan pengertian
yang tepat. Menurut Teeuw (2002: 23) kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa sansekerta; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra
biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka, berdasarkan penggabungan tersebut
sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
alat pengajaran.
Kalau
kita berbicara tentang sastra dan karya sastra, maka tidak akan terlepas dari
angkatan dan penulisan sejarah sastra Indonesia, juga karakteristik wawasan
estetikanya. Hal itu disebabkan karena sastra (Kesusastraan) dari waktu-kewaktu
pasti akan mengalami perkembangan sesuai periode-periode sastra. Rangkaian
periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, maksudnya sebelum angkatan
kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih
kritis dan kreatif.
Setiap
angkatan dalam suatu periodisasi sastra pasti memiliki karakteristik
tersendiri. Jadi tidak menutup kemungkinan kalu kita melihat terlebih dahulu
tentang pengertian kata karakteristik. Karakteristik berasal dari kata dasar
karakter. Menurut Poerwadarminta (1984: 445) karakter adalah tabiat, watak,
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yan gmembedaka seseorang dengan yang
lain. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik dalam sastra adalah
sifat yang membedakan suatu karaya sastra dengan karya sastra yang lain.
Apabila dihubungkan dengan suatu angkatan maka karakteristik sastra angkatan
balai pustaka adalah sifat-sifat yang membedakan baik karya sastra maupun
pengarangnya dalam satu angkatan itu dengan angkatan yang lain, jadi bukan
semata-mata hanya satu karya sastra saja, melainkan keseluruhan karya sastra
dalam suatu angkatan tesebut.
Seperti yang telah kita ketahui, definisi karya sastra adalah suatu karya
yang mengandung nilai seni dan mengarah kepada pedoman-pedoman serta
pemikiran-pemikiran hidup. Sedangkan
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah
Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra berbahasa
akarnya, yakni bahasa melayu.
Sastra di Indonesia sudah ada sejak dulu sekali bahkan mungkin sudah ada
sejak zaman purbakala dimana manusia-manusia purba memulai untuk menggambar dan
menulis sesuatu di dalam gua-gua, sehingga menghasilkan karya-karya sastra.
Tetapi karya-karya tersebut kemudian menghilang karena perkembangan zaman yang
mungkin kurang maju. Lebih pastinya karya sastra di Indonesia dimulai sejak
zaman “Angkatan Pujangga Lama” sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra
Indonesia didominasi oleh karya-karya sastra berbahasa akar (bahasa melayu),
seperti syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Budaya melayu klasik dan pengaruh
Islam yang kuat mempengaruhi sebagian besar wilayah pesisir pantai Sumatera dan
Semenanjung Malaya. Setelah adanya “Angkatan Pujangga Lama”, muncul lah
“Angkatan Sastra Melayu Lama” yang muncul antara sekitar tahun 1870-1942.
Setelah “Angkatan Sastra Melayu Lama”, muncul lah “Angkatan Balai Pustaka” yang
akan saya bahas dalam makalah ini.
Sebenarnya angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka”
pada tahun 1920-1950. Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek,
novel, dan drama) dan puisi yang menggantikan syair, pantun, gurindam, dan
hikayat yang mungkin pada masa itu terlalu memberi pengaruh buruk, banyak
menyoroti kehidupan cabul, dan dianggap memiliki misi politis. Balai Pustaka
menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan
bahasa sunda, dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak, dan
bahasa Madura.
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi
karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap
adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya,
tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa
itu. Tidak hanya itu juga, banyak karya-karya sastra menarik dan cukup
mengilhami pada Angkatan Balai Pustaka, seperti Azab dan Sengsara (Merari
Siregar, 1920), Ken Arok dan Ken Dedes (Muhammad Yamin, 1934), Sengsara Membawa
Nikmat (Tulis Sutan Sati, 1928), dll.
Pada masa Angkatan Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai
"Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada
masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah
dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah
"novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi
karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu
yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah
membuka hati para penulis untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya
menggunakan bahasa daerah kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai
ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan kesadaran para penulis
untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain Balai Pustaka
juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada sekitar tahun
1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya angkatan Balai
Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan dengan karya-karya
besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar diterbitkan dari
penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara
mengenai periodisasi sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup
kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana
menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut merupakan tahun lahirnya
kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia mulai
menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat. Perasan
itu dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra melayu,
jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat
kenyataan tersebut, khususnya menyangkut tentang pengkajian masalah
karakteristik sastra angkatan Balai Pustaka sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan. Maka penulis ingin menganalisis dengan tujuan untuk mengetahui lebih
dalam tentang angkatan Balai Pustaka yang mencakup tokoh, karakteristik, dan
hasil karyanya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
permasalan yang telah diungkapkan dalam latar belakang masalah, maka penulis
ingin mengantarkan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa
yang dimaksud dengan periodisasi sastra?
b. Mengapa
disebut angkatan Balai Pustaka?
c. Siapa
tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka dan apa saja hasl karya yang dihasilkannya?
d. Bagaiman
akarakteristik angkatan Balai Pustaka?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Periodisasi sastra
Periodisasi
sastra merupakan sebuah pengelompokan sastra baik meliputi karya maupun
pengarangnya. Pengelompokan tersebut didasarkan pada waktu penurunan karya
tersebut yang secara otomatis tidak menutup kemungkinan apabila hasil karya
terebut disesuaikan dengan kondidsi sosial pada waktu itu. Dengan hal tersebut
maka kemiripan-kemiripan diantara sastra-sastra juga menjadi salah satu penyebab
dari pengelompokan sastra. Didalam
melakukan peeriodisasi sastra dimulai dari awal mula munculnya karya sastra di
Indonesia yaitu dimulai ada tahun 1920 dengan munculnya karya Merari Siregar
yang berjudul Azab dan Sengsara. Periodisasi sastra sangatlah berguna bagi
setiap penimat sastra karena dengan periodisasi tersebut akan lebih mudahkan
untuk memahami suatu karya sastra terutama mengenai isi dan pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang melalui karyanya.
Periode
adalah sekedar kesatuan waktu dalam perkembangan sastra yang dikuasai oleh
suatu sistem
norma tertentu atau kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara pengucapan yang
khas dan berbeda dengan masa sebelumnya. Angkatan adalah sekelompok pengarang
yang memiliki kesamaan konsepsi atau kesamaan ide yang hendak dilaksanakan dan
diperjuangkan (Sarwadi, 1999: 26).
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara periode dengan angkatan tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan
kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri dan untuk mengetahui lebih dalam
tentang periode sastra maka harus mengetahui pula tentang angkatan sastra, dan
juga sebaliknya.
B.
Periodisasi Sastra Indonesia
Sastra
Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia
diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai
sebagai bahasa kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil
sastra berbahasa Melayu yang tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad
ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri
pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra
berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh beberapa
periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan
1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970—sekarang. Di era 2000-an seperti
sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang
beredar luas di dunia cyber atau internet. Berikut akan dipaparkan satu demi
satu penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.
C.
Tema-tema
Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain
memiliki ketentuan kepenulisan yang terbebas dari propaganda politik dan ajaran
agama, kesusastraan angkatan balai bahasa juga mulai mengangkat tema-tema yang
sebelumnya belum diterapkan dalam kesusastraan melayu.
Tema-tema
yang biasa diangkat dalam karya-karya angkatan balai pustaka adalah:
1) Adat
kawin paksa,
2) Otoriter
orang tua dalam menentukan perjodohan anak-anak mereka,
3) Konflik
diantara kaum tua dan kaum muda,
4) Penjajahan
Eropa yang dianggap wajar dan terkesan dianggap baik.
Adat
kawin paksa merupakan tema yang paling mendominasi karya-karya angkatan balai
pustaka, seperti yang diceritakan dalam roman Siti Nurbaya. Dalam
karya tersebut dapat kita lihat bagaimana orang tua memiliki kekuasaan penuh
dalam menentukan pernikahan dari anak-anak mereka. Konflik antargenerasi
terutama generasi tua dan muda merupakan tema berikutnya yang sering menjadi
topik-topik perbincangan dalam karya sastra. Di antara karya-karya tersebut ada
yang berakhir dengan tragis, atau diakhiri dengan kemenangan kaum tua, namun
ada juga beberapa karya yang berani melawan arus kesusastraan pada masa itu
dengan memberikan akhir kemenangan kaum muda dalam melawan kaum tua. Seperti
yang terdapat dalam karya Darah Muda dan Mencari Anak Perawan.
Penokohan dalam karya sastra angkatan balai pustaka juga dibuat jauh
bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Tokoh-tokoh protagonis
digambarkan sedemikian sempurna baik dalam bidang moral ataupun sosial,
sedangkan tokoh-tokoh antagonisnya digambarkan sangat jahat dan tidak beradab. Karya-karya
pada masa angkatan balai pustaka merupakan karya-karya yang merepresentasikan
realitas sosial pada masa itu, namun tentunya karya-karya tersebut harus
sejalan dengan politik pemerintahan kolonial.
D.
Mengapa
Disebut Angkatan Balai Pustaka ?
Balai Pustaka disebut angkatan 20an atau
populernya dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya. Menurut Sarwadi (1999: 25)
nama Balai Pustaka menunjuk pada dua pengertian:
Ø Sebagai
nama penerbit
Ø Sebagai
nama suatu angkatan dalam sastra Indonesia
Menurut
Sarwadi (1999: 27) Balai Pustaka mempunyai pengaruh terhadap perkembangan
sastra Indonesia yaitu dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat
melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat
dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai
Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat
yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial, sehingga dengan hal itu
Balai Pustaka telah memberikan informasi tentang ajaran politik kolonial.
Berdasarkan penyataan tersebut maka dengan didirikannya Balai Pustaka telah
memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia karena sasrta Indonesia menjadi
berkembang.
Dilihat
dari perkembangan sastranya, Balai Pustaka yang memiliki maksud dan tujuan
pendiriannya, maka pasti menetapkan persyaratan-persyaratan didalam menyaring
suatu karya sastra. Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut maka menimbulkan berbagai
macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu merupakan suatu kelemahan
atau permasalahan dari balai Pustaka yang kurang diperhatikan keberadaannya.
Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu diantanya meliputi:
·
Roman terpenting yang
diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis.
Dalam karya itu pengarang lerbih realistis didalam menyoroti masalah kawin
paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan antara kaum muda dengan kaum
tua dalam pernikahan. Yang menjadi permasalan bagi pengarang ialah
akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk dalam tubuh
anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
·
Novel Belenggu karya
Armin Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak
bersifat membangun dan tidak membantu budi pekerti. Kemudian noel itu disadur
oleh Pujangga Baru tahun1938, dan dicetak ulang oleh Balai Pustaka.
E.
Tokoh-tokoh
angkatan Balai Pustaka beserta hasil karyanya
Menurut
Rosidi (1986: 37) tokoh-tokoh yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka
diantaranya adalah:
1.
Nur Sutan Iskandar
Lahir di Maninjau tahun 1893
Hasil karyanya:
a.
Karangan
asli
Salah
pilih (dikarang dengan nama samaran Nur Sinah tahun 1928), Karena Mertua (tahun
1932), Hulubalang Raja (novel sejarah oleh Teeuw dipandang yang terbaik), Katak
Hendak Jadi lembu, Neraka Dunia (1973), Cinta tanah Air (novel yang terbit pada
jaman Jepang tahun1944), Mutiara (1946), Cobaan (1947), Cinta dan Kewajiban
(dikarang bersama dengan I.Wairata).
b.
Karangan
terjemahan
Anjing Setan – A. Canon Doyle,
Gidang Intan Nabi Sulaiman – Rider Haggard, Kasih Beramuk dalam Hati – Beatrice
Harraday, Tiga Panglima Perang - Alexander Dumas, Graaf De Monto Cristo –
Alexander Dumas, Iman dan Pengasihan – H Sien Klewiex, Sepanjang Gaaris
kehidupan – R Casimir.
c.
Karangan
saduran
Pengajaran Di Swedwn – Jan
Lightair, Pengalaman Masa Kecil – Jan Lighard, Pelik-pelik Kehidupan – Jan
Lighard, Si Bakil – Moliere Lavare, Abu Nawas, Jager Bali, Korban Karena
Penciiptaan, Apa Dayaku karena Aku Seoarng Perempuan, Dewi Rimba
d.
Catatan
harian
Ujian Masa (21-7-1947
s/d 1-4-1948)
2.
Abdul Muis
Lahir di Minangkabau
Hasil karyannya : Salah Asuhan
(1928), Pertemuan Jodoh (1933), Suropati (1950) - novel sejarah, Robert Anak
suropati (1953) – novel sejarah, Sebatang Kara (Hector Mallot) – karangan
terjemahan.
3.
Marah Rusli
Lahir di Padang 7 Agustus 1989 dan
meninggal di Bandung 17 Januari 1968.
Karya-karyanya: Siti Nurbaya (1922) – Sub judul Kasih Tak Sampai, Anak dan Kemenakan (1956), Memang Jodoh – La Harni (1952).
Karya-karyanya: Siti Nurbaya (1922) – Sub judul Kasih Tak Sampai, Anak dan Kemenakan (1956), Memang Jodoh – La Harni (1952).
4.
Aman Datuk
Majaindo
Lahir di Solok pada tahun 1896.
Karya-karyanya: Si Doel Anak Betawi
(cerita anak-anak), Anak Desa (cerita anak-anak), Si Cebol Rindukan Bulan
(1934), Menebus Dosa, Perbuatan Dukun - Rusmala dewi (dikarang bersama S. Harja
Sumarta), Sebabnya Rapiah Tersesat (1934), Syair Si Banso (Gadis Durhaka)
terbit tahun 1931 – Kumpulan Syair, Syair Gul Bakawali (1936) – Kumpulan Syair.
5.
Muhammad Kasim
Lahir tahun 1886
Karya-karyanya : Pemandangan Dunia
Anak-anak, Teman Dukun (kumpulan cerpen), Muda Terung, Pengeran Hindi, Niki
Bahtera.
6.
Tulis Sutan Sati
Hasil karyanya:
ü Karangan
yang berbentuk novel:
Tidak Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932), Sengsara Membaaw Nikmat (1928).
Tidak Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932), Sengsara Membaaw Nikmat (1928).
ü Cerita
lama yang disadur dalam bentuk syair:
Siti Marhumah yang Saleh, Syair Rosida.
Siti Marhumah yang Saleh, Syair Rosida.
ü Hikayat
lama yang ditulis kembali dalam bentuk prosa liris:
Sabai Nan Aluih
Sabai Nan Aluih
7.
Selasih dan Sa’adah
Alim
Selasih sering memakai nama samaran
Seleguri atau Sinamin. Lahir
tahun 1909
Karya-karyanya: Kalau Tak Ujung
(1933), Pengaruh Keadaan (1973).
Sa’adam Alim
Sa’adam Alim
Karya-karyanya: Pembalasannya
(1941) – sebuah sandiwara, Taman Penghibur Hati (1941) – kumpulan cerpen, Angin
Timur angina Barat (Preal S. Buck) – karya terjemahan.
8.
Merari Siregar
Hasil karyanya: Azab dan Saengsara
(1920)
9.
I Gusti Njoman Pandji
Tisna
Karya-karyanya: Ni Rawi Ceti Penjual
Orang (1935), I Swasta Setahun di Bedahulu (1941), Sukreni Gadis Bali, Dewi
Karuna (1938), I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan)
10. Paulus
Supit
Hasil karyanya: Kasih Ibu (1932)
11. Suman
H.S
Lahir di Bengkalis
Karya-karyanya: Kasih Tak Terlarai
(1929), Percobaan Saetia (1931), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Kawan
Bergelut (1938) – Kumpulan Cerpen.
12. H.S.Muntu
Hasil karyanya: Pembalasan (1935),
Karena Kerendahan Budi (1941)
Authors and works of the Balai
Pustaka Generation
Azab dan Sengsara (1920)
Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Sitti Nurbaya (1922)
La
Hami (1924)
Anak
dan Kemenakan (1956)
Tanah
Air (1922)
Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
Ken
Arok dan Ken Dedes (1934)
Cinta
yang Membawa Maut (1926)
Salah
Pilih (1928)
Karena
Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
Hulubalang
Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
|
Tak
Disangka (1923)
Sengsara Membawa
Nikmat (1928)
Tak
Membalas Guna (1932)
Memutuskan
Pertalian (1932)
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Pertemuan (1927)
Salah Asuhan (1928)
Pertemuan Djodoh (1933)
Menebus
Dosa (1932)
Si
Cebol Rindukan Bulan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)
|
F.
Karakteristik
Angkatan Balai Pustaka
Yang
menonjol pada masa lahirnya sastra angkatan Balai Pustaka ialah cita-cita
masyarakat dan sikap hidup serta adat istiadat (Sarwadi, 1999: 31). Hal itu
tervermin oleh kesadaran masyarakat khususnya para penulis akan pentingnya
persatuan demi terciptanya kesatuan bangsa yang diperlihatkan melalui karya
sastra yang telah memperegunaklan bahasa persatuan Indonesia akan tetapi dengan
hal tersebut tidak memperlihatkan bahwa setiap masyarakat Indonesiatelah
meninggalkan adat istiadanya namun dengan keaneka ragaman adapt istiadatnya
menjadikan suatu alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
1) Sebagian
besar sastra angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut
masyarakat perkawinan itu urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya
untuk menjodohkan anaknya).
2) Latar
belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentanga paham antara
kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengaambil contoh novel Salah Asuhan, Si
Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama,
bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
3) Unsur
nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel
angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal
dari daerah-daerah.
4) Peristiwa
yang diceeeritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
5) Analisis
psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam.
6) Sastra
Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih
cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat
seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
7) Bahasa
sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan
yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum.
8) Genre
sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun
dan syair
Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain
mengambil latar belakang kehidupan masyarakat Minangkabau, pada sebagian karya
sastranya, masih terdapat beberapa ciri-ciri lainnya yang cukup mencolok di
antara karya sastra lainnya, di antaranya adalah:
1. Karya
sastra angkatan balai pustaka pada umumnya hanya berceritakan mengenai
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
2. Karya-karya
pada angkatan balai pustaka juga tidak berbicara mengenai politik, kemiskinan,
dan nilai-nilai sekularisasi.
3. Para
penulisnya lebih bersifat kompromistis terhadap keadaan politik pada masa itu,
pengarang berusaha untuk bersikap ramah dan baik terhadap pemerintah kolonial
agar karya-karya yang mereka hasilkan dapat diterbitkan.
Karya-karya
yang ada pada angkatan balai pustaka memang dibuat sedemikian rupa agar tidak
menyinggung perpolitikan kaum kolonial. Karya-karya dari balai pustaka disortir
secara ketat untuk mengurangi kemungkinan ada karya-karya yang berbau menentang
pemerintahan kolonial. Contoh paling dekatnya adalah
karya Siti Nurbaya. Dalam karya tersebut kita dapat melihat
bahwa Syamsul Bahri yang diposisikan sebagai tokoh protagonis lebih memilih
untuk menjadi bagian dari tentara kolonial demi membalaskan amarahnya ke Datuk
Maringgih. Syamsul Bahri dalam roman tersebut terkesan tidak nasionalis,
sedangkan Datuk Maringgih berada pada pihak yang membangkang aturan-aturan
kolonial terlepas dari sifatnya yang buruk dan licik. Hal ini bukan dikarenakan
tidak adanya rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia, namun lebih didasari
atas aturan ketat syarat pempublikasian karya sastra yang diatur oleh pihak
penerbit balai pustaka. Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Netral
dari visi dan misi yang berkaitan dengan ajaran agama.
2. Netral
dari visi dan misi yang berkaitan dengan propaganda politik.
3. Karya
yang akan diterbitkan adalah karya yang memiliki nilai mendidik.
Karena
syarat dan ketentuan yang ketat dari pihak penerbit balai pustaka, maka tidak
kita temukan karya-karya yang mengacu kepada kritikan terhadap perpolitikan
kaum kolonial pada masa itu. Karya-karya tersebut terlebih dahulu disaring agar
bisa lulus penyeleksian karya-karya yang akan dipublikasi.
G.
Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an
kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah
Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000
setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru
meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en
Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka,
didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi
penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1. merekrut dewan redaksi secara
selektif
2. membentuk jaringan distribusi
buku secara sistematis
3. menentukan kriteria literer
4. mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu
standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi,
Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang
diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan
redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan
Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat
fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra.
Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri
karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise
pepatah/pribahasa.
2. Alur : Alur Lurus.
3. Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh
narator ).
4. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang
pertama.
5. Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu
penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
6. Corak : Romantis sentimental.
7. Sifat : Didaktis (pendidikan)
8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan
kaum tua.
9. Peristiwa yang diceritakan
saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan
pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan
paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa,
permaduan, dll.
12. Soal kebangsaan belum
mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
Angkatan
kesusastraan Indonesia balai pustaka, dimulai penghitungannya dari tahun
1920. Kelompok ini disebut dengan angkatan balai pustaka karena pada masa
tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka.
Lahirnya angkatan balai pustaka pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk
mengurangi pengaruh buruk kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan
liar pada masa itu. Pada angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang
dipublikasikan oleh penerbit merupakan karya-karya yang amat memelihara
perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra lainnya dengan penggunakan bahasa
sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastranya dan bahkan tidak jarang di
antara karya sastra tersebut yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.
Pada
angkatan balai pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal
ini terjadi karena kebanyakan editor yang ada pada masa balai pustaka memang
berasal dari Sumatra Barat. Masa ini adalah masa ketika penulis dan editornya
lebih banyak berdarah Sumatra, maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak
menghasilkan karya-karya kesumatraan. Selain disebut sebagai angkatan balai
pustaka, karya-karya yang lahir pada masa angkatan kesusastraan ini juga
disebut dengan angkatan dua puluh. Titik awal angkatan balai pustaka dimulai
ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar, yang
disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan balai pustaka.
Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih banyak menggunakan Bahasa
Melayu dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena pada masa itu bahasa
Indonesia masih mengalami perkembangan. Namun, bukan berarti karya Merari ini
tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra Indonesia, karena prinsip
dasar sastra Indonesia adalah karya-karya yang dijiwai oleh semangat
nasionalisme Indonesia.
Karya
sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit
Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai
menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah
sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk
mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra
Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap
memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah
terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
I.
Pengaruh
Angkatan 20 ( Balai Pustaka ) Pada Beberapa Ragam Karya Sastra
Angkatan
20 disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang
didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai
penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan
Rakyat.Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903.
Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada
saat itu. Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
1) Mengumpulkan
dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di
kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau disempurnakan.
2) Menterjemahkan
atau menyadur hasil sastra Eropa.
3) Karangan
pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup sekitarnya.
Naskah-naskah
tersebut menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta
berupa bacaan anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah
pengetahuan. Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai
Pustaka. Balai Pustaka menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakan
taman-taman perpustakaan, dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah
dilakukan satu atau dua minggu sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan
yaitu:
(1).
Sari Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1919)
(2).
Panji Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1923)
(3).
Kejawen (dalam Bahasa Jawa)
(4).
Parahiangan (dalam Bahasa Sunda)
Ketiga
majalah yang terakhir itu terbit sampai pemerintah Hindia Belanda runtuh.
Lahirnya
Balai Pustaka sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah
air baik bidang prosa, puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan
adat-istiadat, kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya
banyak yang direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.
Lahirnya
angkatan 20 (Balai Pustaka) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra,
diantaranya:
1. Prosa
a) R
O M A N
Pada
ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum
pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920.
Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman
pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah
tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan
lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan
perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin
paksa dan masalah adat. Adapun isi ringkasan roman Azab dan
Sengsara sebagai berikut:
Cinta
yang tak sampai antara kedua anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena
rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi
akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri.
Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis pilihan orang tuanya, yang
akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa
kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir dengan penceraian dan
Mariamin mati muda karena merana.
Genre
roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti
Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya
mempersoalkan masalah yang nyata saja, tapi mengemukakan manusia-manusia yang
hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan
saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang
sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam
menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai.
Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
Sesudah
itu, tambah membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada
umumnya menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan
sastrawan itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20.
Genre prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman.
Kemudian, muncul pula cerpen dan drama.
b) Cerpen
Sebagian
besar cerpen Angkatan 20 muncul sesudah tahun 1930, ketika motif kawin paksa
dan masalah adat sudah tidak demikan hangat lagi, serta dalam pertentangan
antara golongan tua dan golongan muda praktis golongan muda menang. Bahan
cerita diambil dari kehidupan sehari-hari secara ringan karena bacaan hiburan.
Cerita-cerita pendek itu mencerminkan kehidupan masyarakat dengan suka dukanya
yang bersifat humor dan sering berupa kritik.
Kebanyakan
dari cerita-cerita pendek itu mula-mula dimuat dalam majalah seperti Panji
Pustaka dan Pedoman Masyarakat, kemudian banyak yang dikumpulkan
menjadi kitab. Misalnya:
1. Teman
Duduk karya Muhammad kasim
2. Kawan
bergelut karya Suman H.S.
3. Di
Dalam Lembah Kehidupan karya Hamka
4. Taman
Penghibur Hati karya Saadah Aim
Dengan
demikian, ciri-ciri angkatan 20 pada ragam karya sastra prosa:
Ø Menggambarkan
pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua.
Ø Menggambarkan
persoalan adat dan kawin paksa termasuk permaduan.
Ø Adanya
kebangsaan yang belum maju masih bersifat kedaerahan.
Ø Banyak
menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak terpelihara
kebakuannya.
Ø Adanya
analisis jiwa.
Ø Adanya
kontra pertentangan antara kebangsawanan pikiran dengan kebangsawanan daerah.
Ø Kontra
antarpandangan hidup baru dengan kebangsawanan daerah.
Ø Cerita
bermain pada zamannya.
Ø Pada
umumnya, roman angkatan 20 mengambil bahan cerita dari Minangkabau, sebab
pengarang banyak berasal dari daerah sana.
Ø Kalimat-kalimatnya
panjang-panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan,
pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise.
Ø Corak
lukisannya adalah romantis sentimentil. Angkatan 20 melukiskan segala sesuatu
yang diperjungkan secara berlebih-lebihan.
2. Drama
Pada
masa angkatan 20 mulai terdapat drama, seperti: Bebasari karya Rustam
Efendi. Bebasari merupakan drama bersajak yang diterbitkan pada tahun 1920. Di
samping itu, Bebasari merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah
Belanda. Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap
adat dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan. Gadis Modern karya Adlim
Afandi merupakan drama koreksi terhadap ekses- ekses pendidikan modern dan
reaksi terhadap sikap kebarat-baratan, tetapi penulis tetap membela kawin atas
dasar cinta. Ken arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin merupakan drama
saduran dari Pararaton. Menantikan Surat dari Raja karya Moh. Yamin
merupakan drama saduran dari karangan Rabindranath Tagore.
Kalau
Dewi Tara Sudah Berkata karya Moh. Yamin.
3. Puisi
Sebagian
besar angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi
golongan muda sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi
yang merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian
sukma dan jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong
Soematra. Perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Mr. Moh. Yamin.
Beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena ia
mengadakan pembaharuan puisi Indonesia. Pembaharuannya dapat dilihat dalam
kumpulan puisinya Tanah Air pada tahun 1922.
Perhatikan kutipan puisi di bawah ini:
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagi pula sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Oleh pucuk daun kelapa.
Dibandingkan
dengan puisi lama, puisi tersebut sudah merupakan revolusi:
Ø Dari
segi isi, puisi itu merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia.
Ø Dari
segi bentuk, jumlah barisnya sudah tidak empat, seperti syair dan pantun, dan
persajakkannya (rima) tidak sama.
Pengarang
berikutnya pada masa angkatan 20 di bidang puisi adalah Rustam Effendi.Rustam
Effendi dipandang sebagai tokoh peralihan.Rustam Effendi bersama Mr. Muh. Yamin
mengenalkan puisi baru, yang disebut soneta sehingga beliau dianggap sebagai
pembawa soneta di Indonesia. Kumpulan sajak yang ditulis oleh Rustam Effendi
pada tahun 1924 adalah Percikan Permenungan.
Perhatikan
contoh kutipan sajaknya:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair,
Buka beta budak Negeri,
musti menurut undangan
mair,
Sarat-saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
beta
buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut
sukma.
Perubahan
yang dibawa oleh Rustam Effendi melalui Percikan Permenungan (Bukan Beta Bijak
Berperi) yaitu:
1) Dilihat
bentuknya seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya berupa syair. Ia
meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun
modern.
2) Lebih
banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau
dipandang sebagai pelopor
penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
Penyair
berikutnya adalah Sanusi Pane. Beliau menciptakan 3 buah kumpulan sajak, yaitu:
1. Pancaran
Cinta (seberkas prosa lirik, 1926)
2. Puspa
Mega (1927)
3. Madah Kelana (1931)
Sajak
yang pertama kali dibuat adalah Tanah Airku (1921), dimuat dalam majalah
sekolah Yong Sumatra.
Dengan
demikian, ciri-ciri puisi pada periode angkatan 20, yaitu:
(1).
Masih banyak berbentuk syair dan pantun.
(2).
Puisi bersifat dikdaktis.
J.
Persajakan
pada Angkatan Balai Pustaka
Perkembangan
kesusastraan pada masa balai pustaka tidak hanya berkembang melalui karya-karya
prosa dan pernovelan saja, tetapi juga di bidang persajakan. Rustam Efendi dan
Muhammad Yamin merupakan orang-orang yang memegang pengaruh besar dalam
perkembangan persajakan di Indonesia pada masa itu. Mereka bahkan disebut-sebut
sebagai Bapak Soneta Indonesia, karena mereka berdualah yang menjadi pelopor
penulisan soneta di Indonesia. Soneta yang berkembang pada masa itu, tidak
lepas dari pengaruh kemelayuan, di mana sajak yang dihasilkan rata-rata
menggunakan nada yang mendayu-dayu dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan
yang terdapat di sekitar kita, seperti tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian,
sebagai sebuah karya, sajak-sajak tersebut tetap bertugas untuk mengungkapkan
pengalaman batin yang tidak terlepas dari nilai-nilai humanitas dan religuitas.
Rustam
Efendi merupakan salah satu tokoh kesusastraan
Indonesia yang serin disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu puisi di Indonesia.
Dia juga menggunakan penulisan drama bersajak, yang bahasanya lebih dipuisikan.
Sebagai seorang sosialis kiri, Rustam Efendi juga menggunakan karya-karyanya
sebagai penyampai hasrat-hasrat nasionalisme pada dirinya yang berbeda sekali
dengan Muhammad Yamin yang lebih mengutamakan aspirasi kebangsaan. Penulis-penulis
yang sempat mengecap kesuksesan pada masa angkatan balai bahasa meliputi Merari Siregar, Marah Rusli, Rustam Efendi,
Muhammad Yamin, Abdul Muis, Muhammad Kasim, Aman Datuk Madjoindo, Jamaluddin
Adinegoro, Tulis Sutan Sati, dan Nur Sutan Iskandar. Penulis pada masa ini
tidak hanya sebagai penghasil karya sastra saja, namun juga sebagai penerjemah
karya-karya asing.
K.
Novel/roman
yang diterbitkan pada Angkatan 20-an
Angkatan
Balai Pustaka merupakan salah satu angkatan dalam
Periodesasi Sastra kita. Angkatan ini disebut juga Angkatan 20-an. Disebut
begitu karena rata-rata novelnya (romannya) diterbitkan sekitar tahun 1920-an
oleh penerbit Balai Pustaka.
Berikut
novel/roman yang diterbitkan pada Angkatan 20-an ini (silakan klik judul yang
berwarna kuning untuk membaca sinopsisnya):
Tema: Kawin paksa, ketika perjodohan
anak muda masih ditentukan oleh orangtua
mereka.Tokoh: Aminuddin, Mariamin, Baginda Diatas, Kasibun, Nuria, Sutan Baringin.
Ø Sabai
Nan Aluih (Karya Tulis Sutan Sati)-1920
Tema: Kasih tak sampai dan kawin
paksa
Tokoh: Sitti Nurbaya, Samsul Bahri,
Datuk Meringgih
Ø Salah
Pilih (Karya Nur Sutan Iskandar)-1928
Tema: Kesalahan dalam mendidik dan
mengasuh anak, kisah kasih antara dua anak manusia berbeda bangsa.
Tokoh:
Hanafi, Corrie, Rapiah, Safei, Ibu Hanafi.
Ø Sengsara
Membawa Nikmat (Karya Tulis Sutan Sati)-1928
Ø Hulubalang
Raja (Karya Nur Sutan Iskandar)-1934
Ø Katak
Hendak Menjadi Lembu (Karya Nur Sutan Iskandar)-1935
Ø Nusa
Penida (Karya Anjar Asmara)
BAB III
KESIMPULAN
Balai
Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan
sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia
yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga
dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang
penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Melihat kenyataan
tersebut maka karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai Pustaka
dengan sastra angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan bertemakan
kawin paksa, memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda, unsur
nasionalitas yang terkandung dalam karya sastra belum jelasm, peristiwa yang
diceritakan hanya merupakan realitas kehidupan, analisis psikologi dalam karya
sastra masih kurang, karya-karya angkatan Balai Pustaka bersifat didaktis,
bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang paling membedakan
sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre asil karyanya
berupa novel, pantun dan syair.
Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi
karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu
yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah
membuka hati para penulis untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya
menggunakan bahasa daerah kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai
ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan kesadaran para penulis
untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain Balai
Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada
sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan
dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar
diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara
mengenai periodisasi sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup
kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana
menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut merupakan tahun lahirnya
kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia mulai
menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat. Perasan
itu dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra melayu,
jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat
kenyataan tersebut, khususnya menyangkut tentang pengkajian masalah
karakteristik sastra angkatan Balai Pustaka sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan. Maka penulis ingin menganalisis dengan tujuan untuk mengetahui lebih
dalam tentang angkatan Balai Pustaka yang mencakup tokoh, karakteristik, dan
hasil karyanya.
DAFTAR PUSTAKA
o Bezemer
1921
T.
J. Bezemer, Beknopte Encyclopædie van Nederlands-Indië,
Leiden/'s-Gravenhage/Batavia: Brill/Martinus Nijhoff/Kolff. (In Dutch; "A
Concise Encyclopaedia of the Netherlands East Indies".)
o Bezemer
1943
T.
J. Bezemer, Vier eeuwen Maleische literatuur in vogelvlucht, Deventer: W.
van Hoeve. (In Dutch; "Four Centuries of Malay Literature: A Bird's Eye
View".)
o Braasem
1949
W.
A. Braasem, “Uit dromenland naar stof en zweet. Moderne Indonesische poëzie”,
in: Indonesië. Tweemaandelijks tijdschrift gewijd aan het Indonesisch
cultuurgebied 1949(3)-2(September) pp. 151-77. (In Dutch; "From the
Realm of Dreams to Dust and Sweat. Modern Indonesian Poetry".)
o Pigeaud
1949
Th.
Pigeaud, "Bibliografie in Indonesië", in: Indonesië.
Tweemaandelijks tijdschrift gewijd aan het Indonesisch
cultuurgebied 1949(3)-2(September) pp. 124-29. (In Dutch;
"Bibliography in Indonesia".)
o Poerwadarminta,
W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
o Rosisdi,
Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sejarah Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta.
o Sarwadi.
1999. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Kurrnia Kalam Semesta.
o Teeuw,
A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Flores: Nusa Indah Arnoldus.
o Teeuw,
A. 2002. Sastra dan Ilmu Sastra. Yoyakarta: Universitas Negeri Yoyakarta.
o Usman,
Zuber. 1979. Kesusastraan Baru Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Makasi ya Men untuk pengetahuannya.
BalasHapus